Senin, 14 Februari 2011

Secuil Kisah Di Februari

Aku termenung di bawah sinar  sang purnama.  Mataku menerawang jauh ke angkasa. Aku tersenyum menatap gumpalan awan di sana. Mungkin jika ada seseorang yang melihatku saat ini, orang itu akan mengira aku gila karena tersenyum sendiri. Aku membayangkan gumpalan awan itu adalah wajah Ryan, kekasihku yang sedang melanjutkan study S1 di Australi.
***
Ryan adalah kakak dari sahabat Rani, adikku. Tiga tahun lalu aku bertemu Ryan, saat aku menemani Rani tes masuk MTs Mu’allimaat Yogyakarta.
ketika itu aku melihat sesosok pria tampan sedang duduk di ruang tunggu.
            “Wah, cowok itu manis banget.” Kataku dalam hati.
Beberapa jam kemudian seorang gadis seusia Rani menghampiri pria itu, terlihat pria itu mencubit gemas hidung si gadis.
            “Sepertinya dia juga menemani adiknya tes di sini.” Kataku lagi dalam hati.
            “Hayo, kakak ngelamun!” Tiba-tiba Rani muncul dari samping dan mengagetkanku yang melamun.
            “Ah, adek ni bikin kaget aja.” Kataku sambil mengelus dadanya yang berdebar-debar.
            “Ngeliatin siapa sih kak kok sampe melamun gitu?” Rani meliahat ke arah pria tadi.
            “Gag ngeliat siapa-siapa kok.” Aku berbohong.
            “Jangan bohong kak. Aku tau kok, kalo kakak ngeliatin cowok itu kan?” Rani menunjuk ke arah pria tadi. “Dia itu kakaknya Dini, temenku sebangku waktu tes tadi.”
            “Owh, gitu ya?” kataku spontan.
            “Tuh kan, berarti bener kalo kakak ngeliatin kakaknya Dini. Keren ya kak? Udah putih, tinggi lagi.” Rani mencolek pinggangku.
            “He…he…he… iya dek. Keren.” Aku tak bisa bohong lagi pada Rani.
***
Seminggu kemudian, saat melihat pengumuman hasil tes di MTs Mu’allimaat, aku dan Rani bertemu lagi dengan Dini dan kakaknya.
            “Hai Din, gimana hasilnya? Kamu ketrima gag?” Tanya Rani pada Dini sambil menjabat tangannya.
            “Alhamdulillah, aku ketrima. Kamu Ran?” Dini balim bertanya pada Rani.
            “Aku juga ketrima, Alhamdulillah.” Rani menyunggingkan senyumnya. “Oh iya, ini kakak kamu ya?” Rani menunjuk ke arah pria di samping Dini.
            “Iya, ini kakakku.” Dini menyenggol kakaknya, “Kenalan dong Mas, jangan diem aja! Ada cewek cantik tuh.” Tangan Dini menunjuk kepadaku.
            “Aku Ryan.” Katanya sambil tersenyum, lalu menjabat tanganku. 
            “Aku Rena.” Aku membalas jabatan tangannya sambil tersenyum.
Sejak saat itu aku dan Ryan menjadi semakin dekat. Sedikit demi sedikit kami saling mengenal diri masing-masing.
Ryan 2 tahun lebih tua dari aku. Dia adalah pribadi yang cerdas, dewasa, dan humoris. Di setiap pertemuan kami, Ryan selalu bisa membuatku tertawa.
***
Tak terasa, sudah hampir 3 tahun perkenalanku dengan Ryan. Sejak aku kelas 1 sampai kelas 3 Madrasah Aliyah.
Ketika menjelang Ujian Nasional, Ryan sering berkunjung ke rumahku. Dengan senang hati dia menjadi guru privat-ku untuk mengajari mata pelajaran UN. Berbagai nasehat serta motivasi dia sampaikan kepadaku agar aku berhasil saat UN.
Tanggal 14 Februari  2009, adalah hari penting untukku dan Ryan. Seperti biasanya, tepat pukul 15.00 Ryan sampai di rumahku. Namun kali ini dia nampak sedikit aneh, dia lebih rapi dari biasanya.
            “Mas, kok hari ini aneh ya? Rapi banget, tumben.” Kataku saat membukakan pintu rumah.
            “Ah, biasa aja kok.” Jawab Ryan sambil tersenyum. “Hari ini kita libur dulu ya lesnya. Aku mau ngajakin kamu refreshing dikit.” Lanjutnya.
            “Lhoh, emang mau ke mana? Udah ijin ama bonyok blum?” tanyaku penasaran.
            “Udah kok, tenang aja. Burauan ganti baju!”
            “Oke deh.”
Dan aku berlalu meninggalkan Ryan di ruang tamu. Dengan perasaan yang penasaran aku menuju kamarku, segera berganti baju. Lalu kembali ke ruang tamu dengan celana hitam, blus abu-abu, dan jilbab abu-abu.
            “Sip, udah cantik tuh, he..he..” Ryan mencoba menggodaku.
            “Ah, gombal!” jawabku acuh.
Beberapa saat kemudian bundaku datang mengahampiri kami.
            “Jadi pergi Mas? Si Rena udah siap tuh.”
            “Iya Tan, saya ajakin Rena keluar sebentar ya.”
            “Iya.”
Setelah berpamitan, kami berdua beranjak menuju mobil Ryan. Ryan membukakan pintu mobil untukku. Sebalumnya dia mengambil sesuatu dari dalam mobil, lalu menyembunyikannya di balik tubuhnya.
            “Ini untuk kamu Rean.” Ryan memberiku buket bunga mawar merah.
Aku terdiam beberapa saat. Jantungku berdebar. Seperti tersihir oleh buket bunga mawar itu, aku benar-benar tak sanggup berkata-kata.
            “Rena.” Kata Ryan memanggilku.
Sambil menyunggingkan senyum, aku menerima buket mawar dari Ryan.
            “Terimakasih ya Mas.
Setelah itu Ryan membawaku pergi dengan mobilnya. Di dalam mobil kami tidak saling berbicara. Aku sedang sibuk dengan jantungku yng berdebar-debar. Mungkin juga Ryan mengalami hal yang sama.
Ryan menghentikan mobilnya di depan sebuah restaurant. Dia keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku.
            “Yuk, langsung masuk aja! Aku udah pesen tempat di dalem.”
Kami berjalan beriringan ke dalam restaurant.
            “Silakan duduk.” Kata seorang pelayan wanita kepada kami.
Lalu beberapa pelayan lagi datang membawa makanan untuk kami. Kemudian seseorang dari mereka mempersilahkan kamu untuk makan.
Setelah makan, Ryan naik ke atas panggung. Berbicara dengan pemain piano di sana. Lalu dia menyanyikan sebuah lagu untukku. Lagu ‘Janji Suci’ milik Yovie & Nuno dia nyanyikan untukku.
Saat lagu berakhir, Ryan berkata, “Aku sayang kamu Ren.”
Sontak seisi ruangan menjadi riuh, semua bertepuk tangan untuk Ryan.
            “Mas Ryan ni apa-apaan sih? Aku kan jadi malu.” Kataku saat Ryan kembali ke meja kami.
            “Aku serius, aku sayang kamu.” Ryan tersenyum. “Tapi aku punya kabar buat kamu, kayaknya kamu bakal sedih deh denger kabar ini.”
            “Apa mas?”
            “Aku dapet besiswa kuliah di Australi. Bulan Mei aku berangkat ke sana. Makanya aku buru-buru ngungkapin perasaan aku ke kamu, biar pas barangkat ke Australi aku udah lega.”
            “Katanya sayang, tapi kok di tinggal pergi.” Jawabku ketus.
            “Intinya sekarang kamu sayang nggak sama aku? Kalo iya, aku janji bakal cepet selesein study-ku di sana.”
            “Iya.”
            “Iya apa ni?” Tanya Ryan memastikan.
            “Aku juga sayang Mas.” Jawabku sambil tersenyum malu.
            “Alhamdulillah.” Kata Ryan bahagia.
***
Bulan Mei pun datang. Aku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan dan Ryan sudah siap dengan keberangkatannya ke Australi.
Ketika aku mengantarnya ke bandara, sebelum naik ke pesawat, Ryan berkata padaku, “Tunggu aku ya!”
Dengan senyum aku menjawab, “Iya, Mas juga jangan macam-macam ya di sana!”
Ryan tidak menjawab, dia hanya mengedipkan sebelah matanya padaku.

Begitulah kisah indah tentang aku dan Ryan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar