Selasa, 15 Februari 2011

Aku Ilalang

aku adalah ilalang
bergoyang bersama hembusan angin
meliuk-liuk
bergoyang-goyang

ilalang adalah aku
rapuh
tanpa daya

adalah aku ilalang
adakah kelak menjadi beringin??
kokoh
tegar
teduh

Tentang Cinta

Malam menampakkan kesunyian
Bulan ditemani bintang-bintang bersinar menghias langit
Angin malam meniupkan diri
Penghuni malam telah asyik bersenandung
Dan aku
Masih hanyut dalam kolam penuh tanya

Siapa?
Mengapa?
Bagaimana?
Kapan?

Tanya tentang dia
Tanya tentang cinta

Hilang Namun Berbekas

Suara nan merdu
meneduhkan hati yang gersang
wajah nan cerah
memancarkan kesucian wanita penuh kasih sayang
sorot mata nan tajam
bagai bintang kala malam
penerang dalam jalan yang kelam

kini hilang namun berbekas

dalam heningku
sering kudengar suaramu
kala kusendiri dalam gelap duniaku
pijar cahayamu kerap menemaniku
dalam sesat arahku
ku yakin, kau selalu menunjukkan jalanku

Yang Pergi dari Sisi

Keberadaanya begitu berarti
ketika dia tak ada di sisi
Keberadaanya sangat kunanti
ketika dia tak dapat kudekap lagi

Senyumnya yang indah kala itu
senantiasa menarik hati
namun kini terasa mengoyak hati

Tawanya yang riang kala itu
dapat mengobati luka hati
Kini tanpa henti
membuatku menangisi apa yang terjadi

Yang Pergi Dari Sisi

Keberadaannya begitu berarti
ketika ia tak ada di sisi
Keberadaanya amat kunanti
ketika ia tak dapat kudekap lagi

Sentumnya yang indah kala itu
senantiasa menarik hati
namun kini terasa mengiris hati

Senin, 14 Februari 2011

Aku Si Penyuka Warna Biru

Memang tidak gampang menandai penyuka warna ini. Kadang kelihatan lembut, kadang kelihatan kaku dan kadang tertutup. Yang pasti mereka amat dikuasai oleh emosinya. Mereka gampang terharu hanya untuk urusan yang kelihatannya sepele buat kebanyakan orang. Mereka gampang menangis dan gembira untuk hal yang menyentuh perasaannya.

Tapi tak ada yang membuat mereka tersinggunng sekali. Mereka sebetulnya orang yang penyabar, tidak pendendam meskipun hatinya sering luka atau dilukai. Ia melihat dunia ini sebagai satu wilayah yang romantios sekaligus mengandung banyak ranjau yang bisa membahayakan suasana hatinya. Ada kalanya ia tersungkur dan mundur, tapi penyuka warna biru biasanya tabah dan mencoba untuk bangkit dan berusaha mencapai apa yang diinginkan.

Bedanya dengan warna lain, ia tidak menggebu-gebu. Ia selalu tenang, sopan, tidak terlalu mencolok dalam bersikap, tidak ekstrim dan menghindari kalimat yang sinis, tajam atau kasar. Ia ingin berdamai dengan dunia, dengan alam semesta dan seluruh mahluk yang ada di bumi. Ini jangkauan gedenya. Jangkauan kecilnya, ia ingin ramah dengan siapa saja dan ingin juga mendapatkan keramahan yang serupa.

Tapi apa yang menjadi unggulannya. Ia selalu berusaha rapi tapi tidak genit. Ia selalu berusaha tampil sebaik-baiknya, tapi tidak sok. Ia selalu ingin lebih baik dari orang lain tanpa harus menganggap orang lain sebagai saingan yang harus disingkirkan.

Ada kalanya penyuka warna biru nampak loyo dan selalu hal ini berkaitan dengan emosi jiwanya. Ia memang tidak bisa menerima situasi yang dirasakan atau yang orang lain rasakan kalau hal itu dianggapnya tidak adil.
Mereka yang menyukai warna biru yang gelap cenderung lebih suka menarik diri dan lebih gampang tersentuh perasaannya. Sebaliknya mereka yang menyukai warna biru yang cenderung lebih terang lebih periang dan bisa menerima segala sesuatu dengan lebih positif. Yang menyuka warna biru mencolok atau biru benhur, termasuk bukan dalam golongan penyuka warna biru kebanyakan. Ia amat ekstrovert, terbuka dengan emosinya. Dan emosinya itu gampang membara. Ia memang beda deengan penyuka warna biru yang lain.

Atik dan MAMAMIA

Ketika lampu merah menyala, aku dan beberapa temanku beranjak ke jalan raya. Bukan untuk menyebrang tapi berhenti di depan satu persatu mobil di pemberhentian lampu merah. Seperti biasanya, kunyanyikan lagu milik Koes Plus dengan sedikit merubah liriknya.
    Begini nasib jadi glandangan
kemana-mana asalkan suka
tiada orang yang melarang
Hati duka kalau ku tak dapat uang
Oooi
Hati senang kalau ku dapatkan uang

Tidak jarang orang yang mendengarkan lagu yang kunyanyikan ini tersenyum, kalau beruntung tidak kurang dari 500 rupiah aku dapatkan dari tiap mobil yang kudatangi.
***

Matahari mulai menampakkan kekuatannya yang hebat. Panas kurasakan menyengat kulit hitam kusamku. Tenggorokanku terasa kering setelah terus menyanyi dari pagi. Aku melihat ada sebuah warung di seberang jalan, segera aku menyebrangi jalan dan masuk ke dalam warung.
“ Mau beli apa, Dek?” seorang ibu mendatangiku, kelihatannya ibu itu adalah pemilik warung.
“Beli es jeruknya satu, Bu.”
“Es aja Dik, camilannya tidak?”
“Tidak Bu.”
Sebenarnya aku ingin membeli makan atau camilan tapi uangku hanya 6.000 rupiah, tidak cukup. Aku harus membawa uang ini ke rumah, di sana tinggal ibu dan kedua adik kembarku yang masih balita.
    Saat itu ibu pemilik warung sedang menyalakan TVnya. “Wah rejeki! Aku bisa minum sambil nonton TV. Aku kan jarang bisa nonton TV.” Kataku dalam hati. Sengaja aku memperlama minumku agar bisa lama nonton TV. Dalam TV yang dinyalakan itu,disiarkan sebuah acara yang bernama MAMAMIA. Seorang gadis kecil dalam TV menceritakan perjalanannya menjadi peserta MAMAMIA. Ternyata dulunya gadis itu adalah pengamen sama sepertiku.
    “Wah! Apa aku bisa seperti dia?” tanyaku dalam hati.
    Es jerukku habis. Setelah membayar, kulangkahkan kaki menuju rumah. Di bawah jembatan layang, di samping sungai Progo terdapat sebuah rumah kecil, tempatku dan keluargaku tinggal.
    “Assalamu’alaikum Bu! Atik pulang.”
Kuletakkan badanku di atas tikar.
    “Kok sudah pulang, Tik?”
    “Iya Bu, Atik lemes dan capek sekali. Ini Atik dapat 6.000, sudah Atik pakai untuk beli minum tinggal 5.000.”
    “Ya sudah, tidurlah! Biar capekmu hilang.”
Kurang dari 30 menit aku terlelap. Sebuah suara membangunkanku.
    Tok tok tok, suara ketukan pintu. Kulihat sampingku ibu dan kembar tidak ada, kupikir itu mereka. Kubuka pintu rumah, seorang bapak berpakaian hitam tersenyum padaku.
    “Mbak Atik, hari ini akan ada jumpa fans dan konser bersama peserta MAMAMIA yang lain.”
    “Hah, saya Pak? MAMAMIA?”
    “Iya Mbak, mari!”
Bapak itu mengajakku ke salon untuk dandan dan berganti pakaian. Kemudian kami pergi ke rumah makan yang sangat besar dan indah. Ketika keluar dari mobil, orang-orang berebut minta tanda tangan dan bersalaman denganku. Kamera wartawan juga terus mengambil gambarku.
    Sesampainya di dalam rumah makan, para peserta MAMAMIA yang kulihat di TV tersenyum padaku dan mengajakku menuju panggung yang terletak di atas kolam renang.
    Di atas panggung, aku dan peserta MAMAMIA lain menyanyikan lagu Koes Plus gubahanku sambil bergoyang ke kanan kiri. Aku tidak percaya dengan apa yang aku alami. Aku terus berfikir. Tanpa sadar, langkah kakiku terlalu lebar membuatku yang berada di pinggir panggung jatuh ke kolam renang.
    “Aaaah!” Aku terbangun dari mimpiku, pakaian dan tikar tempat tidurku basah, karena aku menendang ember air bocor di samping kakiku.

Secuil Kisah Di Februari

Aku termenung di bawah sinar  sang purnama.  Mataku menerawang jauh ke angkasa. Aku tersenyum menatap gumpalan awan di sana. Mungkin jika ada seseorang yang melihatku saat ini, orang itu akan mengira aku gila karena tersenyum sendiri. Aku membayangkan gumpalan awan itu adalah wajah Ryan, kekasihku yang sedang melanjutkan study S1 di Australi.
***
Ryan adalah kakak dari sahabat Rani, adikku. Tiga tahun lalu aku bertemu Ryan, saat aku menemani Rani tes masuk MTs Mu’allimaat Yogyakarta.
ketika itu aku melihat sesosok pria tampan sedang duduk di ruang tunggu.
            “Wah, cowok itu manis banget.” Kataku dalam hati.
Beberapa jam kemudian seorang gadis seusia Rani menghampiri pria itu, terlihat pria itu mencubit gemas hidung si gadis.
            “Sepertinya dia juga menemani adiknya tes di sini.” Kataku lagi dalam hati.
            “Hayo, kakak ngelamun!” Tiba-tiba Rani muncul dari samping dan mengagetkanku yang melamun.
            “Ah, adek ni bikin kaget aja.” Kataku sambil mengelus dadanya yang berdebar-debar.
            “Ngeliatin siapa sih kak kok sampe melamun gitu?” Rani meliahat ke arah pria tadi.
            “Gag ngeliat siapa-siapa kok.” Aku berbohong.
            “Jangan bohong kak. Aku tau kok, kalo kakak ngeliatin cowok itu kan?” Rani menunjuk ke arah pria tadi. “Dia itu kakaknya Dini, temenku sebangku waktu tes tadi.”
            “Owh, gitu ya?” kataku spontan.
            “Tuh kan, berarti bener kalo kakak ngeliatin kakaknya Dini. Keren ya kak? Udah putih, tinggi lagi.” Rani mencolek pinggangku.
            “He…he…he… iya dek. Keren.” Aku tak bisa bohong lagi pada Rani.
***
Seminggu kemudian, saat melihat pengumuman hasil tes di MTs Mu’allimaat, aku dan Rani bertemu lagi dengan Dini dan kakaknya.
            “Hai Din, gimana hasilnya? Kamu ketrima gag?” Tanya Rani pada Dini sambil menjabat tangannya.
            “Alhamdulillah, aku ketrima. Kamu Ran?” Dini balim bertanya pada Rani.
            “Aku juga ketrima, Alhamdulillah.” Rani menyunggingkan senyumnya. “Oh iya, ini kakak kamu ya?” Rani menunjuk ke arah pria di samping Dini.
            “Iya, ini kakakku.” Dini menyenggol kakaknya, “Kenalan dong Mas, jangan diem aja! Ada cewek cantik tuh.” Tangan Dini menunjuk kepadaku.
            “Aku Ryan.” Katanya sambil tersenyum, lalu menjabat tanganku. 
            “Aku Rena.” Aku membalas jabatan tangannya sambil tersenyum.
Sejak saat itu aku dan Ryan menjadi semakin dekat. Sedikit demi sedikit kami saling mengenal diri masing-masing.
Ryan 2 tahun lebih tua dari aku. Dia adalah pribadi yang cerdas, dewasa, dan humoris. Di setiap pertemuan kami, Ryan selalu bisa membuatku tertawa.
***
Tak terasa, sudah hampir 3 tahun perkenalanku dengan Ryan. Sejak aku kelas 1 sampai kelas 3 Madrasah Aliyah.
Ketika menjelang Ujian Nasional, Ryan sering berkunjung ke rumahku. Dengan senang hati dia menjadi guru privat-ku untuk mengajari mata pelajaran UN. Berbagai nasehat serta motivasi dia sampaikan kepadaku agar aku berhasil saat UN.
Tanggal 14 Februari  2009, adalah hari penting untukku dan Ryan. Seperti biasanya, tepat pukul 15.00 Ryan sampai di rumahku. Namun kali ini dia nampak sedikit aneh, dia lebih rapi dari biasanya.
            “Mas, kok hari ini aneh ya? Rapi banget, tumben.” Kataku saat membukakan pintu rumah.
            “Ah, biasa aja kok.” Jawab Ryan sambil tersenyum. “Hari ini kita libur dulu ya lesnya. Aku mau ngajakin kamu refreshing dikit.” Lanjutnya.
            “Lhoh, emang mau ke mana? Udah ijin ama bonyok blum?” tanyaku penasaran.
            “Udah kok, tenang aja. Burauan ganti baju!”
            “Oke deh.”
Dan aku berlalu meninggalkan Ryan di ruang tamu. Dengan perasaan yang penasaran aku menuju kamarku, segera berganti baju. Lalu kembali ke ruang tamu dengan celana hitam, blus abu-abu, dan jilbab abu-abu.
            “Sip, udah cantik tuh, he..he..” Ryan mencoba menggodaku.
            “Ah, gombal!” jawabku acuh.
Beberapa saat kemudian bundaku datang mengahampiri kami.
            “Jadi pergi Mas? Si Rena udah siap tuh.”
            “Iya Tan, saya ajakin Rena keluar sebentar ya.”
            “Iya.”
Setelah berpamitan, kami berdua beranjak menuju mobil Ryan. Ryan membukakan pintu mobil untukku. Sebalumnya dia mengambil sesuatu dari dalam mobil, lalu menyembunyikannya di balik tubuhnya.
            “Ini untuk kamu Rean.” Ryan memberiku buket bunga mawar merah.
Aku terdiam beberapa saat. Jantungku berdebar. Seperti tersihir oleh buket bunga mawar itu, aku benar-benar tak sanggup berkata-kata.
            “Rena.” Kata Ryan memanggilku.
Sambil menyunggingkan senyum, aku menerima buket mawar dari Ryan.
            “Terimakasih ya Mas.
Setelah itu Ryan membawaku pergi dengan mobilnya. Di dalam mobil kami tidak saling berbicara. Aku sedang sibuk dengan jantungku yng berdebar-debar. Mungkin juga Ryan mengalami hal yang sama.
Ryan menghentikan mobilnya di depan sebuah restaurant. Dia keluar dari mobil, lalu membukakan pintu mobil untukku.
            “Yuk, langsung masuk aja! Aku udah pesen tempat di dalem.”
Kami berjalan beriringan ke dalam restaurant.
            “Silakan duduk.” Kata seorang pelayan wanita kepada kami.
Lalu beberapa pelayan lagi datang membawa makanan untuk kami. Kemudian seseorang dari mereka mempersilahkan kamu untuk makan.
Setelah makan, Ryan naik ke atas panggung. Berbicara dengan pemain piano di sana. Lalu dia menyanyikan sebuah lagu untukku. Lagu ‘Janji Suci’ milik Yovie & Nuno dia nyanyikan untukku.
Saat lagu berakhir, Ryan berkata, “Aku sayang kamu Ren.”
Sontak seisi ruangan menjadi riuh, semua bertepuk tangan untuk Ryan.
            “Mas Ryan ni apa-apaan sih? Aku kan jadi malu.” Kataku saat Ryan kembali ke meja kami.
            “Aku serius, aku sayang kamu.” Ryan tersenyum. “Tapi aku punya kabar buat kamu, kayaknya kamu bakal sedih deh denger kabar ini.”
            “Apa mas?”
            “Aku dapet besiswa kuliah di Australi. Bulan Mei aku berangkat ke sana. Makanya aku buru-buru ngungkapin perasaan aku ke kamu, biar pas barangkat ke Australi aku udah lega.”
            “Katanya sayang, tapi kok di tinggal pergi.” Jawabku ketus.
            “Intinya sekarang kamu sayang nggak sama aku? Kalo iya, aku janji bakal cepet selesein study-ku di sana.”
            “Iya.”
            “Iya apa ni?” Tanya Ryan memastikan.
            “Aku juga sayang Mas.” Jawabku sambil tersenyum malu.
            “Alhamdulillah.” Kata Ryan bahagia.
***
Bulan Mei pun datang. Aku dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan dan Ryan sudah siap dengan keberangkatannya ke Australi.
Ketika aku mengantarnya ke bandara, sebelum naik ke pesawat, Ryan berkata padaku, “Tunggu aku ya!”
Dengan senyum aku menjawab, “Iya, Mas juga jangan macam-macam ya di sana!”
Ryan tidak menjawab, dia hanya mengedipkan sebelah matanya padaku.

Begitulah kisah indah tentang aku dan Ryan.